MEMBACA ITU KETERAMPILAN BUKAN BAWAAN

Berbagai penelitian ihwal kemampuan membaca siswa selalu menempatkan Indonesia sebagai langganan urutan terbawah dari negara-negara sampel penelitian. Penelitian di tingkat SMP itu mengisyaratkan bahwa hal demikian merupakan akibat dari kondisi sekolah di bawahnya yaitu SD.

“Kalau mau memperbaiki sebaiknya dari akar masalahnya, yaitu pendidikan dasar,” kata Drs. Khalid A. Harras, M.Pd., dosen Universitas Pendidikan Indonesia yang juga instruktur Lokakarya Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra (MMAS) di Bogor, Jawa Barat, Jumat sore 21 September 2012.
Selama ini, lanjutnya, membaca dipahami sebagai kegiatan yang melisankan tulisan. Kalau anak bisa membaca dan melafalkan tulisan, dianggap selesai. Padahal yang tak kalah penting adalah mereka memahami apa yang dibaca. “Kemudian bisa membaca dengan waktu yang cepat karena banyaknya informasi yang mereka baca,” jelasnya.

Dr. Yeti Mulyati, M.Pd., rekan Khalid A. Harras, melihat banyak faktor yang menjadi penyebabnya, misalnya budaya masyarakat, daya dukung keluarga, dan hal kompleks lain yang tidak bisa diperbaiki dalam waktu singkat. “Tetapi kalau perbaikan dilakukan lewat sekolah, yang dilakukan guru, lebih mungkin,” ucapnya.
Saat berdiskusi dengan peserta MMAS, Yeti Mulyati menangkap persepsi guru terhadap pelajaran membaca bahwa membaca merupakan bidang yang mudah, enteng, atau sulit lantaran sering dilewati. “Itu karena kesalahan persepsi. Karena dalam pikiran mereka, yang disebut dengan kemampuan membaca bisa mengenali lambang-lambang, membunyikannya, sudah,” jelasnya. “Dan lupa bahwa ini keterampilan.”
Keterampilan, tambahnya, bukan bawaan. Ia sesuatu yang harus terus dilatih. Sementara pelatihan membaca di kelas sering diabaikan. “Anak disuruh baca sendiri tetapi pembimbingannya tidak pernah dilakukan,” keluhnya.
Guru menganggap pelajaran membaca selesai ketika murid-murid bisa melafalkan bacaan. Tidak peduli bagaimana pemahaman dan kecepatan mengaksesnya.
Persepsi lain yang menjadi kendala umum, menurut Khalid A. Harras, adalah anggapan bahwa membaca tidak punya produk tampak sementara menulis memiliki keluaran (output) yang jelas. Padahal membaca merupakan awal untuk bisa menulis. Tak mungkin anak bisa menulis sebelum ia bisa membaca.
Dr. Vismaia Damaianti, M.Pd., rekan Yeti Mulyati, menilai pemodelan yang buruk dari guru berpengaruh besar terhadap minat membaca siswa. “Guru-guru itu kurang bisa memberi kesan yang menyenangkan terhadap proses pembelajaran membaca,” ucapnya.

 

 

Sumber: http://dikdas.kemdikbud.go.id/

Add comment


Security code
Refresh

Komentar Artikel

  • TADABUR ALAM SISWA KELAS VI

    • atikah khairunnisa
      sayang aku ga ikut /,\ nyesel banget.. gara2 kakinya ...

      Read more...

       
    • Alifran Akmal.R
      nanti kalau tadabur alam tempatnya ganti yaa...

      Read more...

       
    • Faras Nuafal.B
      wkwkwkwk :zzz

      Read more...

Kalender

Sen Sel Rab Kam Jum Sab Min
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31

Agenda Kegiatan

No upcoming event!
Info Pendaftaran

Mari Bergabung

"Guru yang berkualitas dan berprestasi akan melahirkan anak-anak yang berprestasi" 
Siswa hebat dapat melahirkan banyak prestasi, guru yang bermutu dapat melahirkan ribuan siswa berprestasi.
Mari bergabung bersama kami, di SDIT Raudhatul Jannah sekolahnya guru dan siswa berprestasi.

Statistik Pengunjung

7009815
Today
Yesterday
This Week
Last Week
This Month
Last Month
All days
453
1157
7491
6994266
28874
45328
7009815

Your IP: 3.15.3.154
2024-04-19 11:10