Bogor (Dikdas): Lelaki berpakaian hitam-hitam itu berdiri dengan mata melotot. Kakinya yang terbungkus sepatu kulit hitam mengetuk-ngetuk lantai panggung. Mengganggu kesunyian yang tercipta. Suaranya melengking, kadang terdengar kasar dan berat. Rambutnya yang hitam-panjang terurai begitu saja, menambah angker parasnya.
Namun tak satupun peserta Lokakarya Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra (MMAS) takut melihatnya. Sebaliknya, mereka tertegun bercampur kagum. Sebagian dari mereka beranjak dari kursi, mengeluarkan telepon genggamnya, mengarahkannya ke lelaki berpakaian hitam-hitam itu, lalu merekamnya dengan kamera.
Lelaki itu Iman Soleh namanya. Ia aktor dan pemain teater. Ia sedang membaca puisi berjudul Air Burung dan Nenek Moyang gubahannya sendiri.
“Membaca puisi adalah sebuah cara berkomunikasi,” kata Iman Soleh, Rabu 19 September 2012. Puisi adalah kendaraan imajinasi bagi penyair, tambahnya. Gerakan seluruh anggota tubuh pada dasarnya merupakan bentuk komunikasi kepada penonton. Namun, pemain bukan hanya pembaca cerita. “Ia bermain-main, dimainkan, dan dipermainkan. Jadi banyak aspek dalam membaca puisi,” ucapnya.
Di sesi itu, Iman Soleh menjelaskan bagaimana menyampaikan materi sastra kepada siswa dengan cara yang menyenangkan. Ia membuat simulasi yang melibatkan seluruh peserta, berfokus pada pelatihan tentang olah tubuh, olah vokal, dan penghayatan.
Peserta diminta ke depan, berkelompok, dan melakukan gerakan yang menghubungkan antara gerakan dan ingatan. Ada saja yang salah gerak ketika aba-aba dilontarkan ke mereka.
Kemudian peserta secara berkelompok diminta kompak membuat suara binatang. Masing-masing kelompok berbeda suaranya. Ketika Iman Soleh mengarahkan tangannya ke satu kelompok dan kelompok itu mengeluarkan suara, lalu tangannya berpindah-pindah ke kelompok lain, suasana ruangan seketika diisi alunan orkestra suara binatang. Kadang membuat geli dan meletuskan tawa peserta.
Iman Soleh berkata guru punya banyak cara agar siswa menyenangi sastra. Libatkan suara dan gerak tubuh mereka. Agar siswa senang puisi, ia menyarankan guru mencarikan puisi yang disenangi anak. “Lalu bacakan seperti anak itu membaca,” ucapnya.
Ia pun menganjurkan sebelum belajar bahasa dan sastra di kelas, satu siswa diminta membaca puisi. Jika pelajaran bahasa satu kali seminggu, maka dalam sebulan empat puisi dibaca, dalam setahun 48 puisi dibaca. “Setelah selesai beri tepuk tangan,” ucapnya.
Untuk melatih anak-anak mengingat gerakan, lanjutnya, minta anak menyumbangkan satu gerakan saja. Antara gerakan dan ingatan berhubungan. “Anak-anak lebih suka gerakan seperti binatang. Hanya perlu ditekankan detailnya,” katanya. “Tujuannya agar tubuh mereka lentur. Ajak anak-anak bermain.”
Sebelum menutup diskusi, Iman Soleh kembali membacakan puisi berjudul Jante Arkidam karya sastrawan Ajip Rosidi. Seluruh peserta diperkenankan duduk mengelilinginya, menikmati penampilan lelaki berpakaian hitam-hitam dengan mata melotot, bersepatu kulit hitam yang mengetuk-ngetuk lantai panggung, yang suaranya melengking, kasar, dan berat, yang rambutnya hitam-panjang terurai begitu saja menambah angker parasnya.* (Billy Antoro)
(Sumber: http://dikdas.kemdikbud.go.id/)